GAGAL ? EMANG PERNAH ?
“MOHON MAAF, PESERTA ATAS NAMA *** DINYATAKAN TIDAK DITERIMA DI SBMPTN 2018. JANGAN PUTUS ASA DAN TETAP SEMANGAT !”
--
Kalau kamu merasa kamu masih sedih, kamu adalah orang yang tidak menerima kekalahan, kamu adalah orang yang tidak mau bangkit dari keterpurukan, kamu adalah orang yang tidak ingin berhasil di kesempatan selanjutnya, kamu bisa berhenti membaca sampai di sini.
--
Namun jika tidak, mari bercerita, dari hati ke hati.
--
Apakah kamu yang menerima kalimat ini kemarin saat pengumuman SBMPTN 2018 ? Bagaimana rasanya ? Sedih ? Heran ? Kesal ? Marah ? Merasa dunia tidak adil ? Merasa sistem pendidikan Indonesia berantakan ? Kecewa ? Takut ?
Ah! Riris bisa bilang begitu karena kamu ga pernah ditolak SBMPTN ! Kamu gatau gimana rasanya bingung gatau harus gimana lagi, gatau harus menempuh ujian gimana lagi! Riris ga pernah tau rasanya ga ada harapan lagi buat kuliah ! Takut ditolak lagi sama ujian mandiri ! Ga pernah tau kan??
--
well, kalau kamu berpikir ini sekedar cari perhatian dan sok bijak doang, kamu bisa berhenti membaca sampai di sini. please, aku tidak ingin membuat pikiranmu penuh dengan suudzon atau prasangka buruk terhadap orang lain. Jadi, terima kasih sudah mampir. 😃
--
--
Sebelum kamu berpikir seperti itu, let me tell you what I went through in failure :
- Gagal rengking 10 besar saat di SMA
- Gagal menjadi yang terbaik di UN SMA
- Gagal lolos SNMPTN Undangan
- Gagal mendapatkan peringkat 10 besar di tryout
- Gagal lolos UTG 1,2,3 Telkom (ini adalah hal yang paling bikin ayahku sedih, sampe ngediemin aku berhari-hari)
- Gagal ikut konser tahunan PSM Unpad
- Gagal menjadi ketua PEF yang menjaga acara sesuai rundown
- Semester pertama, Ipku cuma 2,6.
- Gagal punya koleksi nilai A/B di transkrip nilai, warna warni
- Gagal mendapatkan beasiswa BCA
- Gagal menjadi Mahasiswa Berprestasi, ya IPK segitu doang cuy
- Gagal menjadi dirjen (ketua divisi) pendidikan di BEM
- Gagal lolos summer exchange LIONS CLUB
- Gagal lolos FFI Indonesia
- Gagal lolos PPAN dua kali
- Gagal dapet beswan djarum ! (Ini adalah the lowest point of my entire life)
- Gagal lolos DELF B2
- Gagal dapet A di seminar skripsi
- Gagal mempertahankan tema skripsi yang sudah diincar dari maba
- GAGAL LULUS TEPAT WAKTU 4 TAHUN
- Gagal menjadi 10 besar kontes menulis uni eropa
- Gagal nikah sama…… (lol)
- Gagal dapet the best point di La Rochelle, point pas-pasan banget
- Gagal administrasi di beberapa kampus untuk menempuh S2
- Gagal dan ditolak di salah satu perusahaan impianku
- Gagal beasiswa unggulan
- Gagal lolos summer exchange LIONS CLUB untuk kedua kali.
Banyak, kan ? Jadi, aku pun masih manusia. Aku punya banyak kegagalan yang baru kali ini aku ceritakan di blog ini. Malu ? Nggak. Ngapain malu. Semua orang punya porsi gagalnya. Masing-masing dari kita terlahir tidak jauh dari cobaan dan kegagalan. Namanya juga hidup. Kata orang, hidup itu seperti roda sepeda. “duh klasik, pasti ga jauh dari hidup tuh kadang di atas, kadang di bawah,kan?” nggak.
Kata salah seorang inspiratorku, hidup itu seperti kita mengayuh sepeda. Kita sendiri yang bertanggung jawab dan mengemudikan mau kemana roda itu diarahkan. Seberapa cepat kita mengayuh dan seberapa lambat, menentukan kapan kita akan sampai di tujuan. Tapi, yang berbahaya dan sering kita lupakan adalah, apakah kita menjalankan roda sepeda itu dengan hati-hati, apakah selama kita berjalan sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri ? Apakah kita memperhatikan lampu lalu lintas ? Apakah kita tau apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan selama mengemudikan kendaraan ? Kemudian, apakah saat kita mengemudikannya, kita mengayuh pedalnya dengan cepat asal sampai, namun ternyata banyak orang tertindas di bawah roda kita, atau kita berhati-hati, jadi banyak orang yg bahagia dan bahkan membantu menyemangati dan mendoakan dengan tulus. Nah. Seperti itu lah juga kehidupan.
Sebelum aku lanjut, kalau biasanya orang curhat ke aku, aku yang curhat di sini.
Kalian pernah tahu aku pernah terpikir untuk give up dan end my life alias bunuh diri ? Nope. Ngga ada yang pernah tahu sampai aku cerita di sini. Ini pertama kalinya aku berani menceritakan sisi lain dari kehidupanku yang selalu kalian lihat bahagia melalui foto-foto di instagram. Malu? Nggak. Wajar aja. Namanya juga manusia, punya hati.
Titik terberat dalam hidupku adalah ketika aku hidup kemudian mengecewakan kedua orangtuaku yang sudah memenuhi semua aspek yang kubutuhkan. Kamu bisa tebak, poin ke berapa ? 8. Poin ini lah yang membuatku sempat berpikir ingin keluar dari Unpad dan menyudahi hidupku. Wih kok lebay ??? Iya. Memang. Karena pilihan Sastra Perancis ini adalah pilihanku sendiri, aku merasa aku tidak bertanggung jawab atas nya. Aku gelap. Malu. Banget. Maluu banget, aku bangga setengah mati udah lolos Unpad, tapi kok IP pertamaku ga nyampe 3 ????
Caraku membunuh diri pelan-pelan itu terdengar klasik. Aku sibukin diriku dan ga makan seharian. Serius. Ga ada orang yang sadar sih, sampai aku jatuh sakit di semester 2. Sakit TBC. Kenapa ? Karena aku mati-matian latihan paduan suara, aku sengajain ambil latihan sampai malem, dengan tujuan supaya aku end. Tapi, ya, akhirnya aku diterapi selama beberapa minggu di rumah sakit, dan, nggak jadi end.
Belum selesai sampai di situ, ternyata aku ditolak oleh beasiswa bergengsi di kampusku. Kalau mungkin menurut kalian, SBMPTN itu adalah penentu takdir kalian, beasiswa ini adalah ‘takdirku’. Mamaku, saat itu, selalu membandingan aku dengan anak dari seorang temannya yang selalu menang dan dapet beasiswa ini itu dari kampusnya. Secara tersirat, dia mengatakan aku kok bodoh banget. Meski tidak, namun, aku yang menginginkannya, merasa seperti itu. Bahkan, administrasi pun tidak lolos. Ibarat kata sih kalau di SNMPTN, ga masuk % yang boleh daftar. Marah nggak aku sama diriku sendiri ? ga salah lagi. Ngga ada yang tau aku pernah daftar beswan djarum, jadi, nggak ada orang juga yang merasakan bahwa aku sudah seputus asa itu.
Caraku mengakhiri hidupku juga masih sama, namun, kali ini aku makan semua makanan. Setiap hari aku makan makanan pedes, minumnya harus asem. Dengan begitu, aku berniat untuk merusak organ dalamku dan dengan tujuan supaya aku end juga. Apalagi pada saat itu, aku baru saja putus setelah 3 bulan menjalani hubungan dengan seseorang. Tapi, ya, akhirnya aku lemes ga terkira dan aku demam selama seminggu setiap malemnya, ya, nggak jadi end.
Titik terakhir puncak keputusasaan aku adalah ketika aku gagal lolos summer camp sementara teman-temanku, lolos. Meski ada seorang temanku yang juga tidak lolos, namun, aku, adalah yang sangat sedih. Aku bahkan nangis di depan temanku, waktu itu kami buka pengumumannya barengan di kampus. Aku nangis dan menyalahkan diri sendiri. Aku sudah menceritakan dan merencanakan bagaimana nanti jika aku berangkat, aku bahkan sudah memutuskan untuk extend dan berlibur ke beberapa negara setelah program ini selesai. Namun apa. Ternyata, aku dikirimi email permintaaan maaf karena menurut panitia penyeleksinya, aku tidak memenuhi kriteria yang dibutuhkan. Aku kemudian marah, aku marah sama temen-temenku, aku bertanya-tanya, “AKU INI KURANG APA?”
--
“Kurang shalat kali lo.” ucap seorang kawan.
--
--
Hidup itu seperti kita mengayuh sepeda,
dan, ya, memang begitu.
--
Aku seharusnya tidak boleh marah jika aku gagal. Lha wong aku sendiri kok yang menyebabkan kegagalan itu terjadi. Aku sendiri yang mempersilakan kegagalan itu menjadi bagian dari sejarah kehidupanku. Aku sendiri yang memang ga mau berhasil. Apa aku berhak kecewa ? engga. Aku bahkan ga boleh mengutuk dan mempertanyakan mengapa temanku berhasil dan aku ngga. Hah? Gimana bisa kok ga boleh?
Aku pun merenung.,
..hidup itu seperti kita mengayuh sepeda. Kita sendiri yang bertanggung jawab dan mengemudikan mau kemana roda itu diarahkan..
Sebelum mengikuti seleksi itu, aku dengan sesadar-sadarnya, seringkali mengemudikan kemudiku ke arah yang tidak seharusnya. Aku masih sering jauh dari tempat solat. Aku beberapa kali tidak memperhatikan guru/dosenku saat menjelaskan, malah asyik main HP. Aku sering banget nongkrong, belanja ini itu, dibandingkan diem di rumah -saat punya waktu luang- untuk shalat dhuha atau shalat sunah lainnya. Aku bahkan lebih doyan baca buku daripada mengaji. Aku, sadar banget, lebih suka ngabisin waktu di luar sama temen-temen dibanding belajar, cari ilmu, atau diem di rumah untuk bantuin orangtuaku. Aku bahkan sering banget ngerjain tugas di sekolah/kampus, di rumah aku cuma tiduran aja. Aku juga beberapa kali, sampai ga keitung, mengemudikan setirku menuju bioskop atau kafe, menghabiskan waktu sampai lupa shalat atau bahkan shalatnya diburu-buru. Lalu apa aku pantas marah dan kecewa dengan hasil yang tidak sesuai diharapkan? Engga sama sekali. Lha wong aku sendiri mengemudikannya sesuka hati. Jadi, aku harus SADAR bahwa itulah tujuan yang aku setir sendiri secara sadar.
…, yang berbahaya dan sering kita lupakan adalah, apakah kita menjalankan roda sepeda itu dengan hati-hati, apakah selama kita berjalan sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri ? Apakah kita memperhatikan lampu lalu lintas ? Apakah kita tau apa yang boleh dan tidak boleh kita lakukan selama mengemudikan kendaraan ?...
Sebelum mengikuti seleksi itu, aku, dengan sadar, suka sembrono ketika belajar. Aku ingin cepat selesai sampai akhir bab, tanpa peduli apakah aku paham dan bisa di bab tersebut atau nggak. Aku juga sering banget nyalin tugas temenku, PR Tryout yang sering aku contek, aku ga pernah peduli apakah aku sebenernya bisa ngerjain soal-soal itu sendirian atau engga. Aku juga berapa kali pulang duluan dari les, pengen cepet-cepet pulang aja pokoknya, ngantuk, suntuk, aku ga mikirin deh apa nanti setelahnya akan ada tambahan atau bisa curi-curi ilmu lain dari guruku. Beberapa kali, aku lebih suka milih diem di tempat makan daripada ikut tambahan kelas persiapan, aku berjam-jam duduk di luar dan ga peduli sama guru yang ada di dalem mau jelasin apa. Secara sadar juga, aku seriiiiiiing banget di kelas main HP, padahal, kewajiban aku adalah belajar dan memperhatikan guru yang menerangkan. Mau suka atau nggak, aku sebetulnya butuh ilmunya.
Aku egois, sih, nggak suka gurunya, malah jadi gamau belajar. Malah jadi ngata-ngatain gurunya. Padahal, dia juga butuh diperhatikan. Dia juga pernah bilang hati-hati jangan pernah meremehkan apapun, tapi, aku, secara sadar, malah meremehkan. Aku juga tau kalau kita ga boleh lupa tahajud dan dhuha itu adalah sumbernya rezeki, tapi aku suka dengan sengaja lupa bangun, kadang ya bangun terus karena nggak peduli jadi tidur lagi. Aku juga sebenernya ga punya hal yang penting banget harus kulakukan di pagi hari, tapi, aku merasa kok solat duha itu mengganggu dan menyita waktu, aku bahkan sering pura-pura lupa. Enakan tidur-tiduran dan nonton tv, atau nongkrong aja sama temen. Lalu apa aku pantas marah dan kecewa dengan hasil yang tidak sesuai diharapkan? Engga sama sekali. Lha wong aku sendiri mengayuh sesuka hati. Jadi, aku harus SADAR bahwa itulah kecepatan dan rute yang aku lewati.
--
“If you fail, blame noone but yourself.”
Perjuangan menuju sebuah seleksi itu perihal bagaimana kamu. Bukan oranglain. Temanmu, sahabatmu, tidak ada sangkut pautnya dengan hasil akhir yang akan kamu terima. Mereka bisa jadi rival terberatmu, bisa jadi kawanmu, namun, pada akhirnya, akumulasi perilaku dan keseharian kamu lah yang dilihat.
Dilihat sape dah?
Allah.
Tuhanmu.
DIA.
--
Sok alim banget dah lu elah!
--
Mungkin iya sih ya.
Tapi, coba deh direnungkan, pernah nggak, kamu berpikir kalau misalnya hasil akhir dari suatu seleksi itu ada di tangan Allah ? Eh, di tangan panitia seleksi ? Ngg, panitia seleksi itu siapa yang ciptakan dan gerakkan ? Allah, bukan ?
--
Kegagalan terakhirku (di poin ketiga) membuatku tersentak. Seorang kawan baikku berkata;
“Kurang solat kali lo.”
Mungkin iya?
Shalat wajibku sudah ditunaikan kok. Eh, tapi, aku buru-buru menunaikannya nggak, ya? Aku juga abis salam terakhir, langsung berdiri, jarang banget diem dan berdzikir, atau pernah ga ya aku memuji DIA tanpa meminta apapun. Apa ibadahku ikhlas ? Apa ibadahku memang untuk bertemu DIA ? Atau aku ini shalat cuma karena kepengen doang ? Abis shalat, berapa kali ya aku sambung sama ngaji? Atau baca asmaul husna, gitu ? Kayaknya ga pernah, ya? Atau, Aku pernah nggak ya, shalat lain selain shalat wajib ? Dhuhaku bolong-bolong deh kayaknya, eh, apa justru ga pernah dilakuin ? Atau dhuhanya cuma dua rakaat ? Emang mau kemana sih aku ? Tahajudku juga terbilang sedikit, atau justru ga pernah ya ? Aku aja kali yang halu pas bangun tengah malem. Eh, apa pas tahajud aku langsung tidur lagi ya? Apa aku pernah sujud yang lama dan berkomunikasi dengan Allah ? Atau aku cuma solat terus berdoa minta supaya aku lolos, terus yaudah aja gitu. Pernah ga ya?
Pasti iya. Pasti pernah.
Aku duduk terdiam dan memikirkan, apakah aku ini terlalu duniawi ? Terlalu mengutamakan ambisi di atas segala-galanya ? Apakah aku terlalu memikirkan penilaian orang lain ? Atau aku terlalu pusing berstrategi ? Sehingga aku lupa bahwa segala sesuatu di dunia ini, Allah yang punya. Pusing banget aku mikirin bagaimana sebaiknya aku menaruh pilihan, tapi aku ga pernah musingin bagaimana sebaiknya aku beribadah. Aku ribet banget deh mencari tahu seperti apa seharusnya aku belajar, tanpa mencari tahu ibadah apa saja yang dapat aku lakukan untuk menyeimbangkan usaha-usahaku. Aku tuh cerita ke sana sini soal mimpiku, soal keinginanku dan rencana hidupku, tanpa aku beritahu Tuhanku dan bertanya apakah ini yang terbaik untukku atau bukan. Sebenarnya, untuk siapa aku bersaing menjadi yang terbaik ? Apakah ini hanya egoku sesaat karena aku ingin menunjukkan seberapa hebatnya diriku, atau, aku ingin menjadi seseorang agar jadi manfaat bagi yang membutuhkan ?
--
Aku butuh berdamai dengan diriku sendiri.
--
Suatu hari, aku berhasil menemukan bagaimana caranya untuk memaafkan diriku sendiri.
- Aku catat segala kesalahan-kesalahanku di masa sebelum seleksi itu dimulai dalam catatan pribadiku. Aku tuliskan semua kekuranganku, semua hal yang dengan sengaja aku perbuat, yang tidak ada manfaatnya. Menuliskan ceritaku dari A sampai Z, buka semua kejelekan-kejelekanku di dalamnya.
- Aku kumpulkan beberapa quotes dan ayat-ayat Al Qur’an, kutuliskan di lembar pertama dalam catatanku. Kucari kalimat-kalimat yang menusuk, bukan kalimat-kalimat manis yang membenarkan kegagalanku. Aku butuh menjadi lebih baik, supaya kegagalan itu nggak terulang.
- Aku mencari kegiatan-kegiatan serupa yang bisa aku ikuti lagi. Akan aku cari tahu, dimana limitku sebenarnya. Jika masih ada kesempatan, berarti masih ada peluang.
- Aku membuat life plan selanjutnya. Aku tekankan pada diriku sendiri; jika aku tidak bisa lolos di A, aku harus bisa lolos di B. Jika aku tidak bisa hebat di bidang itu, aku harus hebat di bidang yang lain. Aku harus punya suatu kelebihan.
- Aku akan menjauhi apa-apa saja yang menghambatku. Entah itu temanku, entah itu pergaulanku, entah itu lingkaranku. Sedikit banyak, mereka juga memengaruhi perjalananku. Bukan kubenci, namun, aku juga harus mengembangkan dan menentukan nasibku sendiri.
- Membaca artikel-artikel yang bermanfaat, seperti 10 things that succes people do in the morning, how to be Einstein, don’t do those things If you want to be succesful, dan masih banyak keyword-keyword lainnya.
- Menyuruh seseorang untuk mencubit atau menampar aku jika aku melewati shalat, sepadat apapun kelas dan rapat yang ada. “Ajak aku shalat, ya. Plis.”
- Membuat reminder di HP untuk shalat dhuha dan shalat tahajud. Kadang masih terlewat salah satunya, namun, selalu diusahakan. Kalau aku merasa tidak bisa dibangunkan oleh alarm, aku akan berdoa dalam hati minta tolong Allah bangunkan.
- Selalu bertanya apa yang kurang pada orang yang kupercaya. Aku akan bertanya pada dia yang sudah berhasil, berapa lama dia belajar, apa yang dia pelajari kemarin dan aku lakukan sama seperti dia (atau bahkan kutambah sendiri dosisnya).
- Selalu menyebut namaNYA dalam setiap langkah. Serius kalau ini. Di dalam hati, selalu dzikir, baca shalawat. Selalu berusaha mengucap Alhamdulillah, mengucap syukur mau gimana pun beratnya hari berakhir.
Aku juga berusaha berdamai dengan orang tuaku. Aku membuat beberapa poin yang meyakinkan, menjelaskan beberapa hal dari sisiku. Aku menjelaskan mengapa aku gagal, aku meminta maaf belum bisa membanggakan. Aku tidak membela diriku, aku tidak mengatakan seleksi itu susah/sistemnya nggak jelas, aku mengakui bahwa diriku banyak lalai terhadap urusan usahaku dan juga, ibadah. Aku pun berdamai dengan orang tuaku dengan mendengarkan segala amarah dan usaha mereka untuk membanding-bandingkan diriku dengan orang lain. Aku usahakan, aku paksa diriku, untuk menjadikan itu sebuah inspirasi. Aku akan cari bagaimana caranya supaya bisa lolos di sana sini, bisa menang ini itu. Aku akan ladeni dengan bertanya ke orangtuaku apa yang dia lakukan kok bisa kemarin diberikan kemudahan seperti itu. Awalnya sulit. Merasa tidak berguna sebagai anak, merasa tidak bisa membanggakan. Namun, perlahan, ketika aku menjadikan itu sebagai suatu pencerahan “Tuh, harusnya aku bisa ikut itu juga! Harus bisa.”, aku tidak lagi menanggapi perbandingan itu sebagai sesuatu yang mengancam. Aku justru ikut bahagia dan bisa mengucap “Wah, Alhamdulillah dong ma. Doain aja aku bisa seperti itu di bidangku nanti ya. Doain,ma.”. Sejauh ini, sih, seberapa keras pun orangtua, akan luluh juga jika kita tidak ikut keras atau bahkan lembek.
Kamu harus meyakinkan dirimu sendiri bahwa kamu akan menemui waktumu untuk berhasil. Entah lama atau sebentar. Kamu harus bilang itu, pada, dirimu sendiri. Iya, memang, orang tua adalah tombak kita berjalan. Ngga ada salahnya kamu mengikuti dan menjalani apa yang orangtua sarankan. Namun, kamu juga harus menghormati dirimu sendiri. Jangan sampai, keterpaksaan kamu justru akan menjadi malapetaka karena kamu melakukan dan menjalaninya tidak dengan sepenuh hati.
Pandangan negatif ? Omongan orang ‘harusnya lo tuh gini gini gitu!” ?
Well, setelah aku melakukan 10 hal di atas selama bertahun-tahun usai mengalami kegagalan, aku nggak lagi peduli dengan omongan orang lain. Eh, engga, bukan nggak peduli. Aku filter dan pilah pilih. Bisa dong, kan yang mengizinkan suatu omongan itu menyerap di benak kita, ya kita sendiri. Kita ga akan pernah bisa ngatur atau perintahkan orang lain mau ngomong apa, mau ngejudge apa. Tapi kita bisa atur pemikiran kita sendiri, kita bisa suruh diri kita untuk menutup telinga dan membuang apa-apa yang tidak membangun. Atau, mungkin, omongan negatif orang lain adalah cerminan diri kita ? Kita bisa juga jadikan omongan negatif sebagai bahan untuk mencari kesalahan-kesalahan kita dan memperbaikinya. Tapi ya, tetep. Disaring. Direnungkan saat sendiri, tidak perlu juga meminta tanggapan orang lain secara berlebihan. Karena, kembali lagi, yang tahu seperti apa hidup kita, ya, kita sendiri. Beberapa orang pasti akan bilang kita keras kepala dan susah dikasih tau saat menentang apa yang dia bicarakan. Tapi, kamu bisa memberinya pengertian mengapa kamu memilih menjadi seperti ini. Sisanya, itu hak lawan bicaramu untuk menghakimi seperti apa pun. Kamu hanya perlu untuk mendorong dirimu sendiri, bukan orang lain.
Setelah berkali-kali menemui kegagalan, aku tidak lagi mencari sebuah kesuksesan untuk membuktikan diriku lebih hebat dari yang lainnya. Aku ingin berhasil untuk diriku sendiri, untuk membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku bisa belajar dari kesalahan. Aku tidak melakukan apapun untuk dilihat orang lain, aku menyimpan segala keberhasilanku untuk menjadi pengingat bagiku bagaimana aku-pada-saat-itu bisa meraih kebahagiaan. Bahasanya sih, flashback. Aku jadikan apapun yang aku simpan sebagai cambuk dan juga sign bagaimana aku bisa membanggakan diriku sendiri, bagaimana aku bisa membuktikan bahwa aku bisa melewati limit kemampuan diriku.
Sampai saat ini, aku tidak ingin hidup di dalam opini orang lain. Orang-orang bisa melihatku melalui apa yang aku unggah, apa yang aku utarakan, namun apa yang aku jalanim hanya orang-orang terdekatku saja yang tahu. Aku akan meminta pendapat mereka terlebih dahulu sebelum meminta pendapat yang lain. Caranya gimana ? well, aku juga gatau. Bagiku, setiap orang punya caranya masing-masing untuk berdiskusi dengan orang terdekatnya. Kadang, bahkan ada yang tidak perlu dengan berbicara, sekedar bercerita, dia bisa mendapatkan inspirasi. Namun ada pula yang harus bertanya terang-terangan untuk mendapat kejelasan. It depends on you!
--
Saat menemui kegagalan, pedulilah pada dirimu sendiri. Jangan peduli pada orang lain. Hasil apapun yang teman-temanmu dapatkan adalah urusan dia dengan DIA. Tidak ada sama sekali peranmu di dalamnya. Tidak ada sama sekali pengaruhnya untuk dirimu. Tidak ada juga penyesalan yang kamu terima disebabkan oleh dia. Melainkan, dirimu sendiri. Apapun yang menimpa temanmu, adil atau tidak, malas atau tidak dia, asal-asalan atau tidak, itu adalah pertanggungjawaban dirinya sendiri. Kamu, seberapa dekat pun dengan seseorang, tidak bisa menebak jalannya rezeki Allah. Bisa jadi, itu adalah rezeki orangtuanya, bukan dia. Bisa jadi, itu adalah hadiah atas doa-doa orangtuanya, bukan dia. Atau, mungkin, itu adalah akumulasi dari semua doa-doa orang-orang yang sering dia bantu -yg dia ga pernah sekalipun bilang sama kamu-. Bisa aja itu adalah perwujudan doa dari guru-gurunya. Kita, nggak, nggak pernah boleh menghakimi keberhasilan atau kegagalan seseorang. Yang perlu kita lakukan adalah peduli pada diri sendiri. Kita tidak perlu mencari kesalahan oranglain sebagai pembelaan atas kegagalan kita. Apapun yang dia lakukan, tidak akan menjadi penilaian akhir Tuhan untuk dirimu. Kamu menanam sendiri, kamu menuai sendiri. Kebun orang lain menanam benih yang sama namun caranya berbeda, juga bukan penentu apakah panenmu lebih banyak atau sedikit. Semua tergantung dari seberapa telaten dan sabarnya kamu merawat kebunmu. Karena apa yang ada di hidupmu, adalah tanggung jawabmu.
--
Satu hal yang perlu kamu ketahui adalah, tidak ada sesuatu yang terjadi secara instan. Salah satunya adalah menerima kekalahan. Kamu butuh waktu. Kalau mau menangis, boleh, silakan. Kalau mau mengutuki dirimu sendiri, boleh, silakan. Tapi jangan berlarut. Kenapa ? karena waktumu akan habis secara percuma. Memang, tidak jenuh, tidak melakukan apapun sehari-harinya ? Kamu boleh teriak. Kamu boleh curhat, kamu boleh maki-maki siapapun, namun, sebentar saja. Kenapa ? karena kamu tidak akan pernah menjadi lebih baik kalau terus-terusan begitu. Tidak ada hal positif yang bisa kamu hasilkan jika kamu masih seperti kamu yang dulu.
Sehari saja.
Cukup sehari saja kamu menyesal, kamu kecewa, kamu sedih, kamu bingung. Itu semua wajar, karena pengumuman itu begitu cepat muncul, tidak meminta izin, tidak menunggu apakah kamu siap atau tidak. Namun, kamu perlu ingat bahwa hidupmu masih sangat panjang. Ada puluhan tahun yang akan kamu hadapi. Jika kamu bisa mengatakan bahwa kamu telah mengecewakan orangtuamu karena gagal SBMPTN, gagal seleksi mandiri, gagal ini itu, tidak berhasil ke sini ke situ, apakah kamu tega juga mengecewakan orangtuamu dengan berdiam diri dan tidak mengusahakan hasil yang lebih baik dari sebelumnya? Apakah kamu tega orangtuamu terperangkap dalam kesedihan akan kegagalanmu terus menerus? Kalau kamu sedih, kalau kamu bingung, berhari-hari, maka, semakin kecil juga peluangmu untuk bisa melihat banyak kesempatan yang terbuka di luar sana. Tertutup sudah mata batinmu untuk berpikir jernih dan menentukan bagaimana caranya untuk membanggakan orangtuamu dengan cara lain. Jangan membuang waktu percuma. Dulu pernah gitu, kan? Terus sekarang masa mau diulang?
--
Untuk kamu yang baru saja gagal, kamu tidak sendiri. Aku, dan jutaan orang yang sudah lebih dulu lahir, juga sudah lebih dulu mengoleksi kegagalan. Tidak perlu malu jika gagal, malu lah jika kegagalan itu tidak bisa membuatmu jadi lebih baik. Malu lah jika kegagalan itu terus kamu pelihara dalam hidupmu. Malu lah jika, kamu, tidak dapat belajar dari kegagalan itu. Berbesar hatilah menerima kekalahan, mengakui kegagalan. Dengan begitu, kamu akan memaafkan dirimu sendiri. Namun, ingat, itu, butuh waktu. Aku tidak mengatakan kegagalan itu wajar, namun, semua orang pasti mengalami fase itu. Penentuannya adalah, apakah ada pembelajaran yang bisa diambil, bukan penyesalan.
--
Aku membuat tulisan ini tidak untuk menghakimi siapapun, mohon dimaafkan jika ada kalimat-kalimat yang menjurus ke situ. Tulisan ini aku keep di blog untuk bisa aku buka kembali sebagai pengingat bahwa aku pernah mengingatkan orang lain untuk move on from their failure, so I have to.
--
Cheers to us! Chances are waiting! Jangan diem aja. Do something!
--
With love,
Riris.
Commentaires